Sehari-hari kami memanggil dengan nama panggilan akrab: Abeng. Kelahiran 1942. Saya kelahiran 1946.
Kurang lebih pada kurun waktu yang sama, saya juga berteman dengan almarhumah, istrinya. Namanya Farida Nasution. Sehari-hari dipanggil Ida. Mereka belum menikah waktu itu.
Saya lebih banyak berjumpa dengan Ida, demikian teman-teman memanggilnya. Karena kebetulan kami tergabung dalam sebuah kumpulan atau “genk” remaja (umur antara 15-16 tahun) yang kami namakan “Bangsawan Grup” (bukan “group”).
Anggota grup itu ada lima orang. Terdiri dari empat perempuan remaja dan saya (satu-satunya laki-laki). Tapi punya keistimewaan: sebagai penguasa mobil. Mobil Jeep Willys keluaran tahun 1952. Milik ayah saya. Di masa itu sudah tergolong mewah jika memiliki mobil tahun 50-an.
Abeng, panggilan kami sehari-hari kepada almarhum, sudah bolak-balik ke Amerika sebagai penerima beasiswa AFS (American Field Service). AFS adalah organisasi pertukaran pemuda internasional.
Pada suatu waktu di tahun 61 atau 62 itu, Ida meminta tolong kepada saya untuk bantu jemput Abeng di Bandara Hasanuddin (dulu Mandai) di Makassar. Mereka sedang dalam status pacaran ceritanya.
Sehari sebelum hari penjemputan, ada kejadian kecil yang tidak bisa saya lupakan sampai tua, termasuk almarhumah Ida. Kejadiannya, ketika kami dari “Bangsawan Grup” lagi bersenang-senang naik mobil, tiba-tiba Ida merengek manja dalam logat Makassar, minta tolong pinjam mobil saya untuk jemput Abeng besok, yang akan datang dari Jakarta, setelah pulang dari Amerika.
Mobil Jeep Willys itu, hanya untuk satu penumpang di depan di sebelah kanan sopir. Di masa itu hampir semua mobil impor, terutama yang dari Amerika, setirnya ada di sebelah kiri. Selebihnya penumpang duduk di kursi belakang, yang sejatinya hanya untuk dua orang juga.
Tetapi, maklumlah “budaya” orang Indonesia, apalagi di “daerah”, kursi belakang diisi bisa sampai empat atau lima orang. Sempit-sempitan pun enggak ada masalah.
Kejadian kecil, terjadi ketika Ida yang bergabung, tiba-tiba meminta izin (tabe’ Bahasa Makassar), mau duduk di bangku belakang. Kursi depan sebelah kanan sang sopir, memang bisa dilipat ke depan untuk diinjak sandarannya, alias bisa ditekuk, untuk membuka jalan bagi penumpang, yang akan duduk di kursi belakang.
Ida tanpa sengaja terjatuh di atas kursi depan, karena refleks, maka hak sepatunya yang tajam di bagian belakang merobek jok plastik kursi depan.
Saya yang panik, karena jok mobil itu baru saja kemarin selesai diganti. Perintah pergantian itu dari ayah saya yang waktu itu sedang ada di Jakarta. Mengurus proses dokumen pengangkatan perusahaannya menjadi “Agen Tunggal” Toyota untuk Indonesia Timur berkedudukan di Makassar.
Perlu diketahui mobil Toyota produksi Jepang tersebut pada saat itu, baru memasuki masa-masa perkenalan kepada pejabat instansi militer dan sipil Indonesia. Dan ayah saya mendapat peluang, dari salah seorang temannya, yang juga adalah salah satu importir Toyota di Jakarta waktu itu.
Pengerjaan penggantian jok itu, dikerjakan di sebuah bengkel mobil yang cukup kenamaan di Makassar pada era itu.
Namanya bengkel “Jembatan Polong” alias jembatan patah. Berlokasi di depan kampus Universitas Hasanuddin yang baru diresmikan. Berada di pinggir jalan raya menuju bandara dan kabupaten lain di Sulawesi Selatan. Tepatnya ke arah utara, ke kabupaten Bosowa (Bone Soppeng Wajo).
Waktu itu, saya “marahi” Ida, dan menepuk betisnya berkali-kali, yang saya tuduh ceroboh. Ida tidak marah. Malah terkekeh-kekeh sambil terus minta maaf. Teman-teman wanita lainnya ikut terkekeh-kekeh.
Sore itu juga saya bawa lagi mobil ke bengkel “Jembatan Polong” untuk diperbaiki joknya yang sobek. Celaka, pemilik bengkel, sambil kaget minta maaf. Mengaku tidak bisa kerjakan perbaikan itu sekarang, karena sudah sore. Tukangnya sudah pada pulang. Tapi, saya paksa, minta untuk dikerjain malam ini juga. Saya “ancam”. Saya takut kena marah ayah.
Akhirnya dia mengalah. Jok mobil dikerjakan juga malam itu, setelah melemburkan dua orang pekerjanya.
Pada suatu hari setelah bertahun-tahun berlalu, ketika almarhum Tanri Abeng baru saja diangkat menjadi Menteri Pendayagunaan BUMN (1998) oleh Presiden Soeharto, saya datang menemui almarhum di rumahnya di kawasan perumahan mewah di belakang Hotel Mulia (daerah Senayan). Mengucapkan Selamat Iduladha (kebetulan kemarinnya perayaan Iduladha).
Saat itu almarhum sedang mandi. Seperti biasa Ida menyambut saya dengan ramah. Mempersilakan duduk dan menyodorkan pisang goreng. Abeng sedang mandi. Baru pulang main tenis.
Pisang goreng menjadi makanan wajib yang harus disediakan Ida tiap pagi. Rupanya kebiasaan Abeng sarapan pisang goreng sejak bujangan di Makassar, berlangsung terus. Mungkin karena kebanyakan tinggal di rumah kos.
Lagi, terjadi sebuah kejadian kecil yang susah dilupakan. Saya sedang bertamu ke rumah Abeng. Pada waktu itu, begitu selesai sarapan, Abeng terburu-buru hendak berangkat ke kantor. Tapi, apa yang terjadi? Mobilnya tidak ada. Sang sopir sedang pergi mengantar salah seorang pejabat yang barusan pulang main tenis bersamanya.
Saya kebetulan sedang berada di rumahnya. Almarhum nanya,“Nal, kamu ada mobil?”Kenapa, tanya saya. “Tolong antar saya ke kompleks perumahan menteri di Widya Chandra”.
Tanpa menunggu, saya langsung mengajak naik ke mobil saya. Waktu itu saya yang menyetir sendiri. Tidak pakai sopir. Hanya kami berdua. Dalam hati saya was-was ada pemeriksaan polisi. Karena saat itu sedang gencar-gencarnya peraturan setiap mobil harus berpenumpang tiga orang. Tidak boleh hanya dua orang. Kecuali, satu orang, yang menyetir.
Tapi, dalam hati saya sudah siap dengan jawaban yang telak kepada petugas. "Penumpang saya ini menteri, lho, pak!”, kata saya dalam hati.
Tapi untung tidak ada pemeriksaan. Mungkin, karena pagi itu gerimis sedang turun di Jakarta.
Dalam perjalanan, saya menggoda Abeng. Mengingatkan suatu kejadian di Makassar “tempo doeloe”. “Beng, anda ini tidak pernah berhenti minta tolong mobil dari saya”. Abeng kaget, dia menoleh keheranan.
Sebelum dia ngomong, saya sudah nyambung, “Dulu, ketika anda pertama kali pulang ke Makassar dari Amerika, Ida juga pinjam mobil saya”.
Kami ke bandara, tapi, waktu itu Abeng tidak jadi datang, tidak dapat kursi. Pesawatnya kecil. Namanya Convair. Berpenumpang cuma 37 orang. Kursinya semua diisi pejabat dan tokoh berpengaruh. Sebagai pelajar tentu saja Abeng tidak dapat kursi. Apalagi menjelang lebaran.
Sejarah panjang persahabatan saya dengan Abeng dan Ida tidak bisa terhapus begitu saja. Saya sempat dibuat kaget oleh ucapan spontan Emil, anak laki-laki pertama pasangan Abeng dan Ida.
Kepada siapa saja yang ketemu saya, di mana saja, kalau ada Emil, pasti dia akan mengatakan “kalau tidak ada Om Zainalku sebagai 'mak comblang’, antara bapak saya dan ibu saya, tidak akan lahir saya di dunia ini”.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Almarhum Tanri Abeng telah berpulang ke
Rahmatullah pada Minggu 23 Juni 2024. Memenuhi panggilan “Sang Pencipta”, Allah SWT.
Semoga arwah almarhum husnul khotimah di sisi-Nya. Amin YRA.
Saya tidak sempat ke rumah duka, karena alasan kesehatan. Saya diwakili anak perempuan saya, Dian Parmaya.
Di rumah saya menekan perasaan sedih, yang tertimbun sejumlah kenangan indah bersama almarhum.
Selamat Jalan sahabatku Tanri Abeng. Salah seorang “tokoh besar” bangsa Indonesia. Jasa dan perjuanganmu untuk memajukan bangsa ini, tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan.
Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya
BERITA TERKAIT: